Menabung Untuk Hari Kematian
Pernahkah Anda mendengar tentang tabungan kematian? Seseorang menabung untuk membeli kain kafan, kapas, minyak wangi, dan segala kebutuhan lainnya untuknya kelak ketika meninggal?
Sampai dengan hari Selasa lalu, saya belum pernah mendengar hal tiu. Sampai ketika di ta'lim kantor Selasa kemarin ada seorang peserta ta'lim yang bercerita tentang tradisi kematian di daerah tempatnya tinggal. Bagi setiap warga dikenakan iuran wajib sebesar Rp 2,500 setiap tahunnya untuk kebutuhan membeli perlengkapan kematian bila ajal menjumputnya kelak. Selain iuran itu, warga juga sudah dianjurkan membeli kapling dari sekarang untuk bakal kuburannya kelak! Masya Allah!
Saya yang memang baru mendengar ada iuran kematian seperti ini sampai terbengong-bengong. Mungkin nominal iuran yang hanya Rp 2,500 tidak memberatkan warga setempat. Yang saya herankan, sudah terkikis habiskah rasa solidaritas di antara mereka? Hingga saat meninggalpun harus menyiapkan segala sesuatunya sendiri?
Hati lebih miris lagi ketika teman kantor yang ikut kajian juga, share tentang kasus yang sama. Di dekat daerah tempat dia tinggal malah lebih parah lagi. Setiap ada orang yang meninggal, warga sekitar berduyun-duyun datang untuk membacakan surat Yassin, men-sholatkan dan mengantar ke makam, terutama bila keluarga si jenazah terbilang kaya. Ikhlas kah mereka ta'ziyah? Pasti saja ada segilintir yang melakukannya dengan ikhlas. Tetapi kebanyakan, mereka melakukannya dengan pamrih. Seorang kyai setempat yang mengerahkan anak buahnya untuk membacakan surat Yassin selama seminggu berturut-turut meminta imbalan sampai 1.5jt!! Keluarga jenazah juga menyiapkan amplop berisi uang 5 ribu untuk diberikan kepada orang yang ikut men-sholatkan. Yang memandikan jenazah pun dapat jatah. Bukan uang, melainkan emas 2 gram!! Pertanyaan lagi, apakah keluarga si jenazah memberikan semua itu dengan ikhlas? dan lagi-lagi jawabnya TIDAK. Mereka melakukannya karena hal itu sudah menjadi tradisi. Masih menurut cerita peserta ta'lim tadi, bahkan ada seorang tetangganya yang kemudian jatuh miskin karena salah seorang anggota keluarganya meninggal. Hitung saja berapa uang yang harus dikeluarkan untuk keperluan2 di atas. Belum lagi pada tujuh hari kematian mengharuskan untuk membuat selamatan dengan menyembelih dua ekor kambing!
Lalu bagaimana nasib orang yang meninggal dan dia tergolong miskin? Dapat dipastikan hanya keluarga saja yang melayat, memandikan jenazahnya, sampai menguburkannya. Orang lain yang masih punya pamrih materi dapat dipastikan enggan datang ta'ziyah.
Tetapi alhamdulillah, di kompleks tempat teman saya itu tinggal, yang rata-rata adalah warga pendatang, sekarang sudah dibentuk semacam paquyuban kematian yang setiap bulannya menarik iuran dari warga komplkes, bukan untuk tabungan kematian mereka sendiri, tetapi iuran untuk mengurus warga lain yang meninggal. Warga sekitar kompleks yang masih terkungkung tradisi bid'ah seperti di atas pun kini merasakan dampak postifnya. Warga yang tergolong miskin kini bisa bernafas lega, karena bila ada anggota keluarganya yang meninggal, paguyuban kematian akan mengurus segala sesuatunya dari A sampai Z tanpa mereka perlu mengeluarkan biaya.
Beginilah seharusnya Islam. Rahmatan lil 'alamin. Tidak memberatkan bagi siapapun. Saling bantu membantu sesama saudara.
"Barang siapa melepaskan salah satu kesusahan dunia dr seorang mukmin, maka Allah akan melepaskan salah satu kesusahan hari kiamat darinya. Barang siapa memudahkan org yg dilanda kesulitan, maka Allah akan memudahkannya didunia dan akhirat" (HR Muslim)
"Hak muslim atas muslim lainnya ada 6: menjawab salam, menghadiri undangan, memberi nasehat, mendoakannya bila bersin, menjenguknya bila sakit, dan mengantarkan jenazahnya" (HR Muslim)
Kemudian saya termenung lama. Ternyata ada begitu banyak orang yang mengaku dirinya Islam, tetapi jauh dari nilai-nilai Islam. Begitu banyak yang masih perlu diluruskan aqidahnya. Menjadi tanggung jawab saya, antum, dan kita semua untuk mengajarkan Islam yang benar kepada mereka.
Allahu'alam bisshowab.