Withing Tresno Jalaran Soko Kulino
Saya bukan hendak bicara cinta lho . Cuma mau cerita...klo hari ini saya pergi kerja tanpa HP, karena ketinggalan di rumah . So, apa hubungannya ketinggalan HP dengan judul di atas?
Saat tadi saya tersadar HP tidak ada di dalam tas seperti biasanya, saya mencoba berdialog dengan diri saya sendiri. Ngaruh nggak ya...ada dan tidak ada HP? Dan jawabnya : nggak tuh. Paling-paling teman atau ibu saya akan kebingungan mengkontak saya. Lain ceritanya bila yang tertinggal adalah jam tangan. Saya bisa sedikit blingsatan dibuatnya, karena saya punya kebiasaan : sebentar-sebentar melirik jam, untuk tau di menit keberapa saya musti siap-siap ambil wudhu kalo tidak mau ketinggalan waktu dhuha karena waktu break yang disediakan perusahaan cuma 10 menit, berapa menit lagi masuk jam istirahat, dan di menit keberapa saya harus meluncur ke halaman depan kantor agar tidak ketinggalan mobil jemputan.
Bagi orang lain, bisa saja kebalikannya. Ketinggalan HP akan lebih menyedihkan dibanding ketinggalan jam tangan. Ya..memang, semua itu tergantung dari kebiasaan. Ketergantungan saya pada kehadiran jam tangan itu juga adalah buah dari kebiasaan saya.
Bila kita tilik ke lingkup yang lebih luas, karakter yang kita miliki pun tak luput dari kebiasaan. Mungkin Anda pernah mengalami yang saya alami : bergaul dengan teman yang super cuek, tapi ketika kita mengcomplain kecuekannya itu, dia malah menjawab: "Ya..beginilah karakter saya. Cuek. Jadi, mohon maklum deh klo suatu ketika kamu tersinggung, karena saya cuekin." Apakah karakter memang tidak bisa berubah (baca : diubah)? Menurut saya sih BISA SEKALI. Dalam bukunya (Membentuk Karakter Pribadi Muslim ), Anis Matta menuliskan bahwa karakter adalah akhlaq. Maka ia bisa diubah dengan pembelajaran. Seiring bertambahnya pengetahuan agama kita serta peningkatan keimanan, maka karakter (akhlaq) juga akan semakin membaik.
Saat masa SMP dulu, saya punya kebiasaan mengucapkan kata "Busyet" ("Busyet, bagus banget ya!" atau "Busyet deh!" dsb). Kemudian ada teman yang memberitahukan bahwa Busyet itu sebenarnya adalah singkatan dari iBUnya SYETan. Setelahnya saya berusaha untuk mengontrol mulut saya untuk tidak mengeluarkan kata yang satu itu. Beberapa kali masih keceplosan juga sih, tapi lama-lama alhamdulillah kebiasaan tersebut hilang dengan sendirinya.
Seperti halnya cinta, yang akan tumbuh pelan-pelan seiring kebersamaan (ini kata yng udah nikah lho ) hingga ada pepatah jawa seperti yang tertera pada judul di atas, maka kelakuan, sikap, dan tindakan kita pun tak luput dari bagaimana kita membiasakannya. Akan dibiasakan baik dan bertambah baik lagi, atau apakah akan tetap dibiarkan begitu saja.
Allahu'alam...
~maappp...bukan bermaksud menggurui..tapi lagi2 ini adalah bentuk renungan diri saya~
Saat tadi saya tersadar HP tidak ada di dalam tas seperti biasanya, saya mencoba berdialog dengan diri saya sendiri. Ngaruh nggak ya...ada dan tidak ada HP? Dan jawabnya : nggak tuh. Paling-paling teman atau ibu saya akan kebingungan mengkontak saya. Lain ceritanya bila yang tertinggal adalah jam tangan. Saya bisa sedikit blingsatan dibuatnya, karena saya punya kebiasaan : sebentar-sebentar melirik jam, untuk tau di menit keberapa saya musti siap-siap ambil wudhu kalo tidak mau ketinggalan waktu dhuha karena waktu break yang disediakan perusahaan cuma 10 menit, berapa menit lagi masuk jam istirahat, dan di menit keberapa saya harus meluncur ke halaman depan kantor agar tidak ketinggalan mobil jemputan.
Bagi orang lain, bisa saja kebalikannya. Ketinggalan HP akan lebih menyedihkan dibanding ketinggalan jam tangan. Ya..memang, semua itu tergantung dari kebiasaan. Ketergantungan saya pada kehadiran jam tangan itu juga adalah buah dari kebiasaan saya.
Bila kita tilik ke lingkup yang lebih luas, karakter yang kita miliki pun tak luput dari kebiasaan. Mungkin Anda pernah mengalami yang saya alami : bergaul dengan teman yang super cuek, tapi ketika kita mengcomplain kecuekannya itu, dia malah menjawab: "Ya..beginilah karakter saya. Cuek. Jadi, mohon maklum deh klo suatu ketika kamu tersinggung, karena saya cuekin." Apakah karakter memang tidak bisa berubah (baca : diubah)? Menurut saya sih BISA SEKALI. Dalam bukunya (Membentuk Karakter Pribadi Muslim ), Anis Matta menuliskan bahwa karakter adalah akhlaq. Maka ia bisa diubah dengan pembelajaran. Seiring bertambahnya pengetahuan agama kita serta peningkatan keimanan, maka karakter (akhlaq) juga akan semakin membaik.
Saat masa SMP dulu, saya punya kebiasaan mengucapkan kata "Busyet" ("Busyet, bagus banget ya!" atau "Busyet deh!" dsb). Kemudian ada teman yang memberitahukan bahwa Busyet itu sebenarnya adalah singkatan dari iBUnya SYETan. Setelahnya saya berusaha untuk mengontrol mulut saya untuk tidak mengeluarkan kata yang satu itu. Beberapa kali masih keceplosan juga sih, tapi lama-lama alhamdulillah kebiasaan tersebut hilang dengan sendirinya.
Seperti halnya cinta, yang akan tumbuh pelan-pelan seiring kebersamaan (ini kata yng udah nikah lho ) hingga ada pepatah jawa seperti yang tertera pada judul di atas, maka kelakuan, sikap, dan tindakan kita pun tak luput dari bagaimana kita membiasakannya. Akan dibiasakan baik dan bertambah baik lagi, atau apakah akan tetap dibiarkan begitu saja.
Allahu'alam...
~maappp...bukan bermaksud menggurui..tapi lagi2 ini adalah bentuk renungan diri saya~