Buang Sifat Sombong
Di masa SMA dulu, saya mempunyai seorang guru matematika bernama Pak Widodo (semoga rahmat Allah senantiasa tercurah kepada beliau). Beliau adalah seorang muallaf, tapi subhanallah....karena hidayah dari Allah, dari awal keislamannya, beliau sangat taat menjalankan ibadah. Muslim yang sudah memeluk Islam dari lahir saja mungkin banyak yang kalah amalan ibadahnya dengan beliau. Setiap mengajar, tak lupa mushaf Al Qur'an selalu beliau bawa. Sambil menunggu anak muridnya mengerjakan tugas yang beliau berikan, beliau terlihat sering membuka-buka Al Qur'an, membaca terjemahannya.
Teman-teman di sekolah punya julukan khusus buat beliau : Pak Duduk. Ini dikarenakan, setiap mengajarkan rumus baru, setelahnya beliau pasti akan memberikan soal di papan tulis untuk dikerjakan. Anak murid disuruh maju bergiliran mengerjakan soal tersebut, sampai ada yang menjawab dengan benar. Bila seorang murid maju dan ternyata jawabannya salah, maka beliau akan mengatakan "Duduk!" dengan suara yang keras (karena memang suara beliau keras). Kata "Duduk!" yang beliau ucapkan cukup membuat hati kami menciut, sedikit takut.
Meski dianggap galak oleh beberapa teman, tapi Pak Widodo telah menjadi guru favorit saya hingga kini. Kedisiplinan, ketidak-kompromian beliau kepada murid yang kepergok mencontek atau bisik2 minta jawaban kepada teman lain, ketenangan, serta keteduhan wajah beliau telah memberi kesan tersendiri di hati.
Lalu apa hubungan cerita tentang Pak Wid -begitu biasa saya memanggil- dengan judul di atas? Begini ceritanya....
Suatu kali Pak Wid pernah memberikan soal persamaan di papan tulis. Seperti biasa, satu per satu murid disuruh maju mengerjakan. Sebelum tiba giliran, saya telah lebih dulu mengutak-atik soal tersebut di atas kertas. Jawaban telah saya dapat. Dan saya yakin akan benar. Karenanya, ketika hampir seluruh isi kelas telah maju mengerjakan, dan belum seorang pun berhasil, ada rasa sombong menyelusup di hati saya, bahwa saya lah satu-satunya murid yang dapat menjawab soal tersebut. Pak Wid menunjuk saya untuk maju sebagai giliran terakhir. Dengan percaya diri saya maju. Kapur tulis telah saya pegang untuk menguraikan jawaban soal. Tapi apa yang terjadi?? Masya Allah, tiba-tiba pikiran blank!! Uraian hasil utak-atik rumus yang sebelumnya lancar saya tulis di kertas hilang sama sekali dari memori!! Satu detik, dua detik,....saya coba mengembalikan memori. Tapi sia-sia belaka. Hingga suara keras Pak Wid terdengar menggelegar di telinga saya : "Duduk!".
Astaghfirullahaldzim....Allah telah langsung memberikan teguran atas kesombongan saya saat itu juga!
Di lain waktu, terjadi kebalikan peristiwa dengan di atas. Lagi-lagi terjadi saat Pak Wid menyuruh kami maju mengerjakan soal di papan tulis. Saat itu soal yang diberikan benar-benar sulit menurut saya. Hingga 2/3 isi kelas telah maju, saya belum juga berhasil memecahkan soal yang diberikan. Hati deg-degan, kaki sedikit gemetar, karena pasti nanti akan mendapat jatah "Duduk!" dari Pak Wid. Allah, tolonglah hamba-Mu ini, bisikku dalam hati. Tibalah saat itu. Saya maju ke papan tulis tanpa berbekal jawaban. Pak Wid pantang mendengar jawaban "Tidak bisa, Pak." dari muridnya, bila belum melihat dia mencoba mengerjakan. Dengan mengucap "Bismillah" kupegang kapur tulis. Tiba-tiba, sesuatu yang tak terduga terjadi. Tangan saya sangat lancar menguraikan rumus yang tertulis di sana. Dan kemudian terdengar suara pak Wid : "Ya, benar!". Subhanallah...Allahu akbar.
Masih terbengong-bengong saya kembali ke tempat duduk saya. Itukah yang dinamakan buah tawakkal pada Allah?
Dua peristiwa yang memberi pelajaran besar di atas hingga kini sangat membekas di hati saya. Karena kebetulan terjadi di saat pelajaran pak Wid, maka sosok beliau pun tetap akan terkenang selamanya.
Teman-teman di sekolah punya julukan khusus buat beliau : Pak Duduk. Ini dikarenakan, setiap mengajarkan rumus baru, setelahnya beliau pasti akan memberikan soal di papan tulis untuk dikerjakan. Anak murid disuruh maju bergiliran mengerjakan soal tersebut, sampai ada yang menjawab dengan benar. Bila seorang murid maju dan ternyata jawabannya salah, maka beliau akan mengatakan "Duduk!" dengan suara yang keras (karena memang suara beliau keras). Kata "Duduk!" yang beliau ucapkan cukup membuat hati kami menciut, sedikit takut.
Meski dianggap galak oleh beberapa teman, tapi Pak Widodo telah menjadi guru favorit saya hingga kini. Kedisiplinan, ketidak-kompromian beliau kepada murid yang kepergok mencontek atau bisik2 minta jawaban kepada teman lain, ketenangan, serta keteduhan wajah beliau telah memberi kesan tersendiri di hati.
Lalu apa hubungan cerita tentang Pak Wid -begitu biasa saya memanggil- dengan judul di atas? Begini ceritanya....
Suatu kali Pak Wid pernah memberikan soal persamaan di papan tulis. Seperti biasa, satu per satu murid disuruh maju mengerjakan. Sebelum tiba giliran, saya telah lebih dulu mengutak-atik soal tersebut di atas kertas. Jawaban telah saya dapat. Dan saya yakin akan benar. Karenanya, ketika hampir seluruh isi kelas telah maju mengerjakan, dan belum seorang pun berhasil, ada rasa sombong menyelusup di hati saya, bahwa saya lah satu-satunya murid yang dapat menjawab soal tersebut. Pak Wid menunjuk saya untuk maju sebagai giliran terakhir. Dengan percaya diri saya maju. Kapur tulis telah saya pegang untuk menguraikan jawaban soal. Tapi apa yang terjadi?? Masya Allah, tiba-tiba pikiran blank!! Uraian hasil utak-atik rumus yang sebelumnya lancar saya tulis di kertas hilang sama sekali dari memori!! Satu detik, dua detik,....saya coba mengembalikan memori. Tapi sia-sia belaka. Hingga suara keras Pak Wid terdengar menggelegar di telinga saya : "Duduk!".
Astaghfirullahaldzim....Allah telah langsung memberikan teguran atas kesombongan saya saat itu juga!
Di lain waktu, terjadi kebalikan peristiwa dengan di atas. Lagi-lagi terjadi saat Pak Wid menyuruh kami maju mengerjakan soal di papan tulis. Saat itu soal yang diberikan benar-benar sulit menurut saya. Hingga 2/3 isi kelas telah maju, saya belum juga berhasil memecahkan soal yang diberikan. Hati deg-degan, kaki sedikit gemetar, karena pasti nanti akan mendapat jatah "Duduk!" dari Pak Wid. Allah, tolonglah hamba-Mu ini, bisikku dalam hati. Tibalah saat itu. Saya maju ke papan tulis tanpa berbekal jawaban. Pak Wid pantang mendengar jawaban "Tidak bisa, Pak." dari muridnya, bila belum melihat dia mencoba mengerjakan. Dengan mengucap "Bismillah" kupegang kapur tulis. Tiba-tiba, sesuatu yang tak terduga terjadi. Tangan saya sangat lancar menguraikan rumus yang tertulis di sana. Dan kemudian terdengar suara pak Wid : "Ya, benar!". Subhanallah...Allahu akbar.
Masih terbengong-bengong saya kembali ke tempat duduk saya. Itukah yang dinamakan buah tawakkal pada Allah?
Dua peristiwa yang memberi pelajaran besar di atas hingga kini sangat membekas di hati saya. Karena kebetulan terjadi di saat pelajaran pak Wid, maka sosok beliau pun tetap akan terkenang selamanya.