Di Sini, di Dalam Jiwa Ini
Saudaraku,
Kita banyak tahu tentang kebaikan. Bahkan kita sering ingin melakukannya. Tapi jujur saja, kita masih lebih sering gagal untuk menunaikannya. Seperti juga keburukan. Kita tahu bahwa itu tidak boleh dilakukan. Tetapi, mungkin saja kita justru terdorong untuk melakukannya. Kita sering lepas kendali mengawal diri sendiri.
Sulit mengatasi kecendrungan yang berulang kali mengajak pada suasana yang sebenarnya kita sendiri tidak ingin ada didalamnya. Entahlah, seolah ada kekuasaan lain yang lebih kuat dalam membentuk dan mengendalikan diri kita. Itulah inti masalah yang kita hadapi. Kita kerap gagal dan tak mampu mengendalikan diri kita sendiri. Tepat, seperti ungkapan orang-orang bijak, "Musuh kita adalah diri kita sendiri."
Padahal kemampuan mengendalikan diri, menurut Rasulullah SAW, adalah parameter seseorang untuk bisa disebut kuat atau lemah. "Orang yang kuat itu bukan orang yang menang dalam pertarungan, tapi orang yang mampu mengendalikan amarahnya."
Amru bin Ahtam, seorang ulama di kalangan Tabi'in, menyebut orang yang mampu menundukkan nafsunya dengan istilah 'asyja'u rajul, atau orang yang paling berani. Ia pernah ditanya oleh Mu'awiyah ra, "Siapa orang yang paling berani?" Amru bin Athtam menjawab, "Orang yang bisa menolak kebodohan dirinya dengan sikap lapang dada yang dimilikinya. Dialah orang yang paling berani." (al-hilm, Ibnu Abi Dunia, 31).
Saudaraku, semoga Allah senantiasa memberi kekuatan iman pada kita.
Apa yang harus kita lakukan untuk mengembalikan kepemimpinan pada diri sendiri? Jawabannya sama dengan apa yang harus kita lakukan ketika berhadapan dengan musuh. Tak ada jalan lain, kecuali diperangi. Para ulama kerap mengistilahkan perang batin ini dengan mujahadah. Perang batin jelas berbeda dengan perang zahir. Musuh di perang zahir dapat dilihat dan tipu dayanya bisa diidentifikasi lewat akal dan penglihatan kita. Tapi musuh batin sungguh jauh berbeda.
Dalam beberapa sisi, perang melawan batin bahkan jauh lebih hebat dibanding perang zahir. Alasannya, medan perangnya ada di dalam diri kita sendiri. Serangan, tikaman dan ledakannya bisa terjadi dalam diri kita, setiap waktu dan bisa bertubi-tubi, walaupun tidak terdengar dentumannya, tapi akibatnya sangat berbahaya. Justru, kebanyakan orang yang mampu mengalahkan musuh batinnya sendiri. Ia tak mampu menundukkan hawa nafsunya sendiri.
Saudaraku,
Kita akan semakin mengerti, betapa hebatnya perang melawan hawa nafsu yang sulit dideteksi. Seorang pemuda pernah bertanya pada Ustadz Fathy Yakan, juru dakwah terkenal asal Jordania. "Saya gagal, putus asa, tidak sempurna dalam berbagai amal karena saya selalu dihantui perasaan riya." kata pemuda itu. Ia bahkan berniat akan mengurangi amal ibadah dan aktivitas dakwahnya supaya tidak terjerumus pada sikap riya.
Ustadz Fathy Yakan menjawab, "Siapa manusia yang tidak pernah terganggu oleh bisikan riya? Kita manusia. Semua kita mengalaminya." ia lantas mengutip sebuah hadist Rasulullah SAW, "Andai manusia tidak melakukan kesalahan niscaya Allah akan datangkan suatu kaum yang melakukan kesalahan kemudian mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka." (HR. Muslim dan Ahmad).
Tentu saja hadits itu tidak untuk menyepelekan sebuah dosa, termasuk riya. Tapi hadits itu lebih mengarahkan pada dorongan untuk melakukan perbaikan dan taubat. Fathy Yakan mengatakan, "Ibadah dan amal kebaikan itu sendiri merupakan bagian dari terapi yang ampuh atas dosa yang engkau lakukan."
Saudaraku...
Perhatikan bagaimana jawaban Rasulullah yang sangat jelas tatkala ada seorang pemuda bertanya padanya, "Ya Rasulullah, bagaimana jika ada seseorang yang melakukan shalat malam, tapi di waktu siang ia mencuri?" Apa jawab Rasulullah? "Amaluhu yanhahu amma taqulu." Amal ibadahnya akan menghalanginya mencuri. Singkat sekali.
Jawaban ini sama seperti yang pernah dikatakan oleh seorang salafushalih tatkala seseorang bertanya padanya, "Mana yang lebih baik apakah saya melakukan sujud tilawah namun orang-orang melihat saya dan saya khawatir riya, atau saya tidak melakukan sujud sehingga saya terhindar dari riya?" Orang shalih itu menjawab, "Lakukan sujud tilawah dan lawan bisikan syaitan dalam dirimu!"
Saudaraku,
Apa inti jawaban para ulama terhadap rongrongan hawa nafsu itu? Lawan. Jangan pernah menyerah terhadap dorongan negatif hawa nafsu. Ini adalah perang yang tak pernah usai dan tak boleh berhenti. Berhenti atau mengurangi amal dan ibadah, berarti keluar dari lingkup pemeliharaan dan perlindungan Allah SWT. Artinya, seseorang akan cenderung terpuruk lebih jauh dari apa yang dikeluhkan akibat melakukan kesalahan. Ia telah memilih jalan ke arah kesesatan, bukan jalan hidayah. Semoga Allah menghindarkan kita semua dari pilihan seperti itu.
Saudaraku,
Tentu saja kita harus tetap memikirkan sebab-sebab yang menjadikan kita terjerumus pada suatu dosa. Ini penting karena menurut Hasan al-Bashri, "Seseorang hamba selalu berada dalam kebaikan selama ia mengetahui apa yang merusak amal-amalnya." Ini adalah awal cara untuk mengobati semua masalah, yakni dengan mengetahui sebabnya. Bahkan ini juga merupakan salah satu bagian dari terapi kesalahan kita. Itulah yang diutarakan oleh Wahib bin Wurd, "Inna min shalahi nafsi, ilmii bifasaadihaa..."
Sesungguhnya termasuk kebaikan jiwaku adalah pengetahuanku tentang kerusakan jiwaku.
Duhai, betapa indah dan bijaknya nasihat sahabat Rasulullah SAW, Ali bin Abi Thalib ra : "Hati ini terkadang memiliki kecendrungan menerima dan terkadang menolak. Bila ia dalam kondisi menerima, ajak ia untuk melakukan ibadah yang sunnah. Tapi bila ia dalam kondisi menolak, ajak dia untuk melakukan yang wajib saja. Sampai kondisi menolak itu hilang, ajaklah kembali ia melakukan yang sunnah."
Saudaraku...
Genderang perang itu telah lama berlalu di sini, di dalam jiwa kita ini. Bersiap siagalah selalu...
Sumber :http://kotasantri.com/beranda.php?aksi=Detail&sid=438
Kita banyak tahu tentang kebaikan. Bahkan kita sering ingin melakukannya. Tapi jujur saja, kita masih lebih sering gagal untuk menunaikannya. Seperti juga keburukan. Kita tahu bahwa itu tidak boleh dilakukan. Tetapi, mungkin saja kita justru terdorong untuk melakukannya. Kita sering lepas kendali mengawal diri sendiri.
Sulit mengatasi kecendrungan yang berulang kali mengajak pada suasana yang sebenarnya kita sendiri tidak ingin ada didalamnya. Entahlah, seolah ada kekuasaan lain yang lebih kuat dalam membentuk dan mengendalikan diri kita. Itulah inti masalah yang kita hadapi. Kita kerap gagal dan tak mampu mengendalikan diri kita sendiri. Tepat, seperti ungkapan orang-orang bijak, "Musuh kita adalah diri kita sendiri."
Padahal kemampuan mengendalikan diri, menurut Rasulullah SAW, adalah parameter seseorang untuk bisa disebut kuat atau lemah. "Orang yang kuat itu bukan orang yang menang dalam pertarungan, tapi orang yang mampu mengendalikan amarahnya."
Amru bin Ahtam, seorang ulama di kalangan Tabi'in, menyebut orang yang mampu menundukkan nafsunya dengan istilah 'asyja'u rajul, atau orang yang paling berani. Ia pernah ditanya oleh Mu'awiyah ra, "Siapa orang yang paling berani?" Amru bin Athtam menjawab, "Orang yang bisa menolak kebodohan dirinya dengan sikap lapang dada yang dimilikinya. Dialah orang yang paling berani." (al-hilm, Ibnu Abi Dunia, 31).
Saudaraku, semoga Allah senantiasa memberi kekuatan iman pada kita.
Apa yang harus kita lakukan untuk mengembalikan kepemimpinan pada diri sendiri? Jawabannya sama dengan apa yang harus kita lakukan ketika berhadapan dengan musuh. Tak ada jalan lain, kecuali diperangi. Para ulama kerap mengistilahkan perang batin ini dengan mujahadah. Perang batin jelas berbeda dengan perang zahir. Musuh di perang zahir dapat dilihat dan tipu dayanya bisa diidentifikasi lewat akal dan penglihatan kita. Tapi musuh batin sungguh jauh berbeda.
Dalam beberapa sisi, perang melawan batin bahkan jauh lebih hebat dibanding perang zahir. Alasannya, medan perangnya ada di dalam diri kita sendiri. Serangan, tikaman dan ledakannya bisa terjadi dalam diri kita, setiap waktu dan bisa bertubi-tubi, walaupun tidak terdengar dentumannya, tapi akibatnya sangat berbahaya. Justru, kebanyakan orang yang mampu mengalahkan musuh batinnya sendiri. Ia tak mampu menundukkan hawa nafsunya sendiri.
Saudaraku,
Kita akan semakin mengerti, betapa hebatnya perang melawan hawa nafsu yang sulit dideteksi. Seorang pemuda pernah bertanya pada Ustadz Fathy Yakan, juru dakwah terkenal asal Jordania. "Saya gagal, putus asa, tidak sempurna dalam berbagai amal karena saya selalu dihantui perasaan riya." kata pemuda itu. Ia bahkan berniat akan mengurangi amal ibadah dan aktivitas dakwahnya supaya tidak terjerumus pada sikap riya.
Ustadz Fathy Yakan menjawab, "Siapa manusia yang tidak pernah terganggu oleh bisikan riya? Kita manusia. Semua kita mengalaminya." ia lantas mengutip sebuah hadist Rasulullah SAW, "Andai manusia tidak melakukan kesalahan niscaya Allah akan datangkan suatu kaum yang melakukan kesalahan kemudian mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka." (HR. Muslim dan Ahmad).
Tentu saja hadits itu tidak untuk menyepelekan sebuah dosa, termasuk riya. Tapi hadits itu lebih mengarahkan pada dorongan untuk melakukan perbaikan dan taubat. Fathy Yakan mengatakan, "Ibadah dan amal kebaikan itu sendiri merupakan bagian dari terapi yang ampuh atas dosa yang engkau lakukan."
Saudaraku...
Perhatikan bagaimana jawaban Rasulullah yang sangat jelas tatkala ada seorang pemuda bertanya padanya, "Ya Rasulullah, bagaimana jika ada seseorang yang melakukan shalat malam, tapi di waktu siang ia mencuri?" Apa jawab Rasulullah? "Amaluhu yanhahu amma taqulu." Amal ibadahnya akan menghalanginya mencuri. Singkat sekali.
Jawaban ini sama seperti yang pernah dikatakan oleh seorang salafushalih tatkala seseorang bertanya padanya, "Mana yang lebih baik apakah saya melakukan sujud tilawah namun orang-orang melihat saya dan saya khawatir riya, atau saya tidak melakukan sujud sehingga saya terhindar dari riya?" Orang shalih itu menjawab, "Lakukan sujud tilawah dan lawan bisikan syaitan dalam dirimu!"
Saudaraku,
Apa inti jawaban para ulama terhadap rongrongan hawa nafsu itu? Lawan. Jangan pernah menyerah terhadap dorongan negatif hawa nafsu. Ini adalah perang yang tak pernah usai dan tak boleh berhenti. Berhenti atau mengurangi amal dan ibadah, berarti keluar dari lingkup pemeliharaan dan perlindungan Allah SWT. Artinya, seseorang akan cenderung terpuruk lebih jauh dari apa yang dikeluhkan akibat melakukan kesalahan. Ia telah memilih jalan ke arah kesesatan, bukan jalan hidayah. Semoga Allah menghindarkan kita semua dari pilihan seperti itu.
Saudaraku,
Tentu saja kita harus tetap memikirkan sebab-sebab yang menjadikan kita terjerumus pada suatu dosa. Ini penting karena menurut Hasan al-Bashri, "Seseorang hamba selalu berada dalam kebaikan selama ia mengetahui apa yang merusak amal-amalnya." Ini adalah awal cara untuk mengobati semua masalah, yakni dengan mengetahui sebabnya. Bahkan ini juga merupakan salah satu bagian dari terapi kesalahan kita. Itulah yang diutarakan oleh Wahib bin Wurd, "Inna min shalahi nafsi, ilmii bifasaadihaa..."
Sesungguhnya termasuk kebaikan jiwaku adalah pengetahuanku tentang kerusakan jiwaku.
Duhai, betapa indah dan bijaknya nasihat sahabat Rasulullah SAW, Ali bin Abi Thalib ra : "Hati ini terkadang memiliki kecendrungan menerima dan terkadang menolak. Bila ia dalam kondisi menerima, ajak ia untuk melakukan ibadah yang sunnah. Tapi bila ia dalam kondisi menolak, ajak dia untuk melakukan yang wajib saja. Sampai kondisi menolak itu hilang, ajaklah kembali ia melakukan yang sunnah."
Saudaraku...
Genderang perang itu telah lama berlalu di sini, di dalam jiwa kita ini. Bersiap siagalah selalu...
Sumber :http://kotasantri.com/beranda.php?aksi=Detail&sid=438